Oleh : Muhammad Aris, SH*
PILKADA
serentak desember 2015 mendatang segera dilaksanakan di sejumlah kabupaten/kota
dalam Provinsi Jambi diantaranya, Kabupaten Batang Hari, Tanjung Jabung Barat,
Tanjung Jabung Timur, Kota Sungai Penuh, Bungo dan Provinsi Jambi sendiri.
Segala persiapan mulai dari anggaran hingga regulasi pilkada terus disempurnakan.
Sejumlah bakal calon (balon) yang digadang-gadang akan maju
bertarung pada pilkada akhirnya mulai berpikir panjang, karena ada benturan
persyaratan pasangan calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota yang ada di revisi UU pilkada termasuk dalam rancangan
PKPU. Para tokoh di Jambi yang terancam maju pilkada diantaranya, Riduwan Ibrahim yang notabene bakal cabup Bungo dan memiliki
hubungan keluarga (ipar) dengan Wagub
Jambi Fachrori Umar, kemudian Hazrin Nurdin yang merupakan paman dari Bupati
Tanjab Timur Zumi Zola, istri mantan Bupati Batanghari Sofia Fattah, adik
kandung Bupati Muaro Jambi Burhanuddin Mahir, Agustian Mahir dan menantu
Gubernur Jambi Kemas Fuad.
Pasca revisi UU pilkada dan rancangan PKPU tentang Pencalonan
yang telah dilakukan uji publik beberapa waktu lalu, ada beberapa pasal yang
menurut saya dinilai bertentangan dengan hak dasar manusia (baca hak azasi
manusia), pasal yang dinilai menbegal hak azasi manusia adalah pasal 4 ayat 1
dan ayat 8 draf PKPU tersebut yang berbunyi :
Warga
Negara Republik Indonesia dapat menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota dengan memenuhi
persyaratan adalah “Tidak memiliki konflik kepentingan dengan
petahana.” (pasal 4 ayat 1 hurug q).
Selanjutnya, yang dimaksud tidak
memiliki konflik kepentingan dengan petahana dijelaskan pada pasal 4 ayat 8,
berbunyi :
a. tidak memiliki ikatan perkawinan
dengan petahana, baik suami maupun istri; atau
b. tidak memiliki hubungan
darah/garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, yaitu bapak/ibu atau
bapak mertua/ibu mertua dengan petahana; atau
c. tidak memiliki hubungan
darah/garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke bawah, yaitu anak atau menantu
dengan petahana; atau
d. tidak memiliki hubungan
darah/garis keturunan ke samping, yaitu kakak/adik kandung, ipar, paman atau
bibi dengan petahana.
Dan dijelaskan lebih rinci lagi pada pasal 4 ayat 9 dengan
ketentuan;
a. Calon Bupati atau Wakil
Bupati, Walikota atau Wakil Walikota tidak mempunyai ikatan perkawinan atau
hubungan darah/garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping
dengan Gubernur atau Wakil Gubernur pada provinsi yang sama;
b. Calon Gubernur atau Wakil
Gubernur tidak mempunyai ikatan perkawinan atau hubungan darah/garis keturunan
satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan Bupati atau Wakil
Bupati, Walikota atau Wakil Walikota pada provinsi yang sama.
Bila mengacu kepada rancangan PKPU
tersebut yang bertitik tolak dari revisi UU pilkada, maka menurut penulis,
bahwa rancangan regulasi pilkada saat ini dinilai bertentangan dengan sejumlah
aturan yan lebih tinggi, bahkan dinilai bertentangan dengan UUD 1945, kemudian
bertentangan dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak azasi manusia atau kata
lain bernilai diskriminatif dan tidak memberikan kepastian hukum dan persamaan
hak. Penulis sendiri memberikan gambaran pertentangan antara penolakan politik
dinasti sementara disatu sisi hak-hak azasi manusia dijamin UUD 1945 dan UU No.
39 Tahun 1999.
Dalam pasal 28D ayat 1 dan 3 UUD 1945
berbunyi : “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum” lalu “Setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Selanjutnya,
pada pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang dikatakan
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Kemudian,
pada pasal 1 angkat 3 UU No. 39 Tahun 1999, bahwa yang dimaksud diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,
status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang
berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya. dan aspek kehidupan lainnya.
Begitu
juga pada pasal 3 UU No. 39 Tahun 1999, berbunyi :
(1) Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia
yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang
sama di depan hukum.
(3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Selanjutnya
pasal 15 UU No. 39 Tahun 1999 dikatakan ;
“Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik
secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya,”.
Lalu
pada pasal 43 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 dikatakan :
“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan
umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan,”.
Oleh
karena itu, bila kita mengacu kepada pasal 7 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2011
tentang peraturan pembentuk Undang-undang. Jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Perppu;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kemudian, pada pasal
9 UU No. 12 Tahun 2011 dikatakan :
(1). Dalam hal suatu
Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
(2). Dalam hal suatu Peraturan
Perundang-undangan dibawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan
Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Bila
melihat sejumlah dasar hukum yang dikemukan diatas, penulis menilai bahwa sudah
sepatutnya bakal calon (balon) atau setiap warga negara indonesia yang ingin
maju pada pilkada namun terbentur aturan ikatan perkawinan atau memiliki
hubungan keluarga dengan Petahana melakukan ‘perlawanan’ hukum baik kepada
Mahkamah Konstitusi (MK) maupun ke Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada
pasal 9 UU No. 12 Tahun 2011. Supaya ada kepastian hukum dan
tidak ada tindakan diskriminasi hak azasi manusia sebagaimana yang ditegaskan
pada pasal 1 angka 3 UU No. 39 Tahun 1999.
Saat ini sudah ada sejumlah pihak yang mengajukan uji
materi ke Makkamah Konstitusi (MK)
dengan
perkara No. 33/PUU-XIII/2015 dan No. 34/PUU-XIII/2015 terkait dengan larangan
maju pilkada akibat adanya ikatan perkawinan atau hubungan keluarga dengan
petahana, semoga saja putusan hukum tersebut segera keluar dan warga negara
Indonesia yang merasa dirugikan tersebut mendapatkan kepastian hukum.
Dari berbagai sumber yang diperoleh,
politik dinasti di Indonesia tersebar dipelosok nusantara, diantaranya :
1. Sjachroedin ZP, Gubernur
Lampung. Dia juga merupakan:
-
Ayah dari Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza.
-
Ayah dari Wakil Bupati Pringsewu Handiytya Narapati.
2.
Atut Chosiyah, Gubernur Banten. Dia juga merupakan:
-
Kakak kandung Wakil Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah.
-
Kakak tiri Wali Kota Serang Tubagus Haerul Jaman.
-
Kakak ipar wali kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany.
-
Anak tiri Wakil Bupati Pandeglang Heryani.
3.
Ahmed Zaki Iskandar, Bupati Tangerang. Dia juga merupakan anak mantan Bupati
Tangerang Ismet Iskandar.
4.
Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulawesi Selatan. Dia juga merupakan kakak
kandung Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo.
5.
Andi Idris Syukur, Bupati Barru, Sulawesi Selatan. Dia juga merupakan anak
mantan Bupati Barru.
6.
Adelheid Sosang, Wakil Bupati Tana Toraja, Sulawesi Selatan, merupakan istri
dari mantan Bupati Tana Toraja Juhanis Amping Situru.
7.
M Natsir Ibrahim, Wakil Bupati Takalar, merupakan anak mantan Bupati Takalar
Ibrahim Rewa.
8.
Sinyo Harry Sarundajang, Gubernur Sulawesi Utara, merupakan ayah dari Wakil
Bupati Minahasa Ivan SJ Sarundajang.
9.
Harley Alfredo Benfica Mangindaan, Wakil Wali Kota Manado, Sulawesi Utara. Dia
merupakan anak dari Menteri Perhubungan yang juga Gubernur Sulawesi Utara
periode 1995-2000 EE Mangindaan.
10.
Bachrum Harapan, Bupati Padang Lawas Utara, Sumatra Utara. Dia merupakan orang
tua kandung dari Wali Kota Padang Sidempuan Andar Amin Harahap.
11.
Zumi Zola Zulkifli, Bupati Tanjung Jabung Timur, Jambi. Dia merupakan anak
mantan Gubernur Jambi periode 1999-2004 Zulkifli Nurdin.
12.
Hasan Basri Agus, Gubernur Jambi. Dia merupakan mertua Wakil Bupati Muaro Jambi
Kemas Fuad.
13.
Neneng Hasanah Yasin, Bupati Bekasi. Dia merupakan menantu mantan Bupati Bekasi
Saleh Manaf.
14.
Anna Sophanah, Bupati Indramayu. Dia merupakan istri mantan Bupati Indramayu
Irianto MS Syafiuddin alias Yance.
15.
Ati Suhari, Wali Kota Cimahi. Dia merupakan istri mantan Wali Kota Cimahi Itoc
Tochija.
16.
Dadang Naser, Bupati Bandung, merupakan menantu bupati periode sebelumnya, Obar
Sobarna.
17.
Widya Kandi Susanti, Bupati Kendal, Jawa Tengah. Dia merupakan mantan Bupati
Kendal Hendy Boedoro.
18.
Sri Hartini, Wakil Bupati Klaten, Jawa Tengah. Dia merupakan istri mantan
Bupati Klaten (alm) Haryanto.
19.
Sri Suryawidati, Bupati Bantul, DI Yogyakarta. Dia merupakan istri mantan
Bupati Bantul Idham Samawi.
20.
Puput Tantriana, Bupati Probolinggo, Jawa Timur. Dia merupakan istri mantan
Bupati Probolinggo Hasan Aminudin.
21.
Haryanti Sutrisno, Bupati Kediri, Jawa Timur. Dia merupakan mantan Bupati
Kediri Sutrisno.
22.
Mohammad Makmun Ibnu Fuad, Bupati Bangkalan, Jawa Timur. Dia merupakan anak
mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin.
23.
Ferry Zulkarnain, Bupati Bima, NTB, merupakan kakak dari Wakil Bupati Bima
Syafrudin M Nur.
24.
Supian Hadi, Bupati Kota Waringin Timur, Kalimantan Tengah. Dia merupakan
menantu Bupati Seruyan, Darwan Ali.
25.
Rita Widyasari, Bupati Kutai Kertanegara. Dia merupakan anak mantan Bupati
Kutai Kertanegara Syaukani Hasan Rais.
26.
Tuasikal Abua, Bupati Maluku Tengah. Dia juga merupakan kakak mantan Bupati
Maluku Tengah Abdullah Tuasika.
Politik dinasti yang terbangun di
sejumlah daerah di Indonesia tidak semuanya memicu persoalan hukum (terjerat
kasus hukum akibat kasus korupsi), namun demikian, kasus yang menjerat Ratu
Atut Chosiyah, Gubernur nonaktif
Banten akhirnya menjadi puncak titik es yang memperkuat larangan politik
dinasti yang oleh DPR dan pemerintah termasuk penyelenggara pemilu sepakat memperkuat
larangan politik dinasti dalam regulasi pilkada. Sementara itu
dalam implementasi hak dan kebebasan, hak-hak azasi manusia juga ada batasan
sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan, dalam pasal 28 J ayat 2 UUD
1945 yang berbunyi : “Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis,”.(*Tim Ahli DPRD Batang
Hari/Mantan anggota KPU Batang Hari 2008 – 2013)