PEMILIHAN Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta melalui pemungutan suara yang telah digelar 11 Juli 2012 mengantarkan pasangan Jokowi - Ahok (Joko Widodo – Basuki Tjahaya Purnama) sebagai peraih suara terbanyak, bahkan berhasil menyalip pasangan Foke- Nara (Fauzi Bowo – Nahrowi Ramli) yang merupakan Petahana (Fauzi Bowo/Gubernur DKI Jakarta). Hanya saja, kemenangan Jokowi – Ahok itu baru berdasarkan hasil penilaian dari sejumlah lembaga survei, bukan berasal dari lembaga resmi yang berhak mengeluarkan, yakni KPU DKI Jakarta.
Hanya saja, Keputusan KPU DKI Jakarta pada tanggal 20 Juli 2012 layak ditunggu dan patut dihormati oleh semua elemen masyarakat DKI Jakarta, terutama para pendukung (tim kampanye/tim sukses) semua pasangan calon. Bagaimanapun KPU DKI Jakarta sebagai penyelenggara pemilu/pemilukada juga dibentuk berdasarkan Undang-undang. Jangan salahkan KPU DKI Jakarta, kalau penyelenggara Pemilukada DKI harus memilih dasar hukum penetapan pemenang (memberlakukan UU No. 29 tahun 2007 atau UU No. 12 tahun 2008). Karena itu, kedua UU itu sampai saat ini masih berlaku. Karena belum lama ini, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberi sanksi peringatan tertulis kepada salah seorang komisioner KPU DKI terkait daftar pemilih tetap Pilkada DKI.
Dari pesta demokrasi yang digelar masyarakat DKI Jakarta untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 banyak pembelajaran yang bisa diambil hikmahnya, diantaranya pertentangan aturan yang termuat dalam pasal 107 UU No. 12 tahun 2008 tentang revisi kedua UU No. 32 tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah dengan Pasal 11 UU No. 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perbandingkan UU No. 12/2008 dan UU No. 29/2007
(Penetapan Pemenang Pasangan Calon)
Pasal 11 UU No. 29/2007
|
Pasal 107 UU No. 12/2008
|
(1). Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.
(2). Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
(3). Penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan menurut persyaratan dan tata cara yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
|
(1). Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.
(2). Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
(3). Dalam hal pasangan calon yang perolehan suara terbesar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat lebih dari satu pasangan calon yang perolehan suaranya sama, penentuan pasangan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas,
(4). Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, atau tidak ada yang mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua.
(5). Apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh dua pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut berhak mengikuti pemilihan putaran kedua.
(6). Apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh oleh tiga pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.
(7). Apabila pemenang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh oleh lebih dari satu pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua diyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
|
Melihat fenomena seperti ini, penulis tidak akan membahas lebihjauh pertentangan antara kedua undang-undang tersebut, karena penulis tidak punya kewenangan untuk memberikan penilaian dan putusan atas kedua undang-undang tersebut, namun penulis sedikit hanya memberikan gambaran dan masukan beberapa perbedaan terhadap sejumlah Undang-undang terkait penyelenggaraan pesta demokrasi ditanah air.
Sebelum pasal 107 UU No. 12 tahun 2008 diberlakukan, penyelenggara pemilu pada umumnya di Indonesia merujuk pasal 107 UU No. 32 tahun tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai acuan dalam penetapan pasangan calon terpilih baik pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota
Adapun isi pasal 107 UU No. 32 tahun tahun 2004 :
(1) Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.
(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
(3) Dalam hal pasangan calon yang perolehan suara terbesar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat lebih dari satu pasangan calon yang perolehan suaranya sama, penentuan pasangan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, atau tidak ada yang mencapai 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua.
(5) Apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh dua pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut berhak mengikuti pemilihan putaran kedua.
(6) Apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh oleh tiga pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.
(7) Apabila pemenang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh oleh lebih dari satu pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.
(8) Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
Dengan demikian direvisinya pasal 107 UU No. 32 tahun 2004 dan diberlakukannya pasal 107 UU No. 12 tahun 2008 artinya pasal 107 UU No. 32 tahun 2004 tidak lagi berlaku dan menjadi acuan bagi penyelenggara pemilu dalam penetapan pasangan calon terpilih, yang berlaku adalah pasal 107 UU No. 12 tahun 2008 .
Terkaitnya penetapan pasangan calon terpilih, dalam persoalan ini penulis tidak akan memcampuri wewenang teritorial KPU DKI Jakarta apakah akan menggunakan UU No. 29 tahun 2007 atau UU No. 12 tahun 2008, karena KPU DKI Jakarta akan punya alasan dan dasar hukum kuat untuk menerapkan aturan hukum dalam pelaksanaan tahapan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017. Apalagi kedua undang-undang ini mempunyai kedudukan hukum yang sama dan lahir atas persetujuan DPR RI melalui sidang paripurna.
Kedua Undang-undang yang lahir dari sidang paripurna DPR RI itu, ternyata memunculkan ‘pertentangan pendapat’ dikalangan masyarakat umumnya. Tentunya, pendukung Jokowi - Ahok akan berpikiran dan berharap kenapa KPU DKI tidak menerapkan saja UU No. 12 tahun 2008, sebaliknya pendukung Foke- Nara merasa terselamatkan dengan adanya UU No. 29 tahun 2007. Munculnya perbedaan akan penerapan hukum inilah menurut informasi yang tersiar diberbagai media akan ada pihak yang akan mengajukan uji materi terhadap UU No. 29 tahun 2007.
Tentunya yang menjadi pertanyaan, kenapa ada perbedaan aturan dalam penetapan pasangan calon terpilih, yakni 50 persen dan 30 persen, kenapa sebelum kedua UU itu disahkan oleh DPR RI disamakan saja persentasenya, sehingga memberikan kepastian hukum dan antara Undang-undang satu dengan lainnya tidak saling bertentangan. Itu artinya DPR RI dinilai tidak konsisten, karena pasal 11 UU No. 29 tahun 2007 dan pasal 107 UU No. 12 tahun 2008 saling bertolakbelakang.
Kenapa DPR dinilai penulis tidak konsisten khususnya UU yang terkait penyelenggaraan pemilu, ada beberapa catatan penulis terkait ketidak konsistenan lembaga tinggi negara itu, yakni bahwa DPR RI sepertinya bolak-balik menerapkan sistem pemberian suara pada surat suara. Pada pemilihan anggota DPR, DPRD pada pemilu orde baru (Orba) sistim mencoblos dinilai bukan jamannya lagi, dirubah ke sistim menandai(contreng/sebutan lainnya) dibuktikan dengan lahirnya UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD(lihat saja pasal 154 undang-undang ini). Padahal UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD sebelum direvisi, sistim pemberian suara pada surat suara menggunakan sistim menandai (lihat saja pasal 153 ayat 1 undang-undang ini).
Lucunya, pada draf UU Pemilukada yang saat ini sedang digodok, DPR RI ingin menerapkan sistim pemberian suara pada surat suara dengan cara menandai (lihat saja pasal 108 ayat 2 dalam draf Undang-undang tersebut), padahal UU No. 32 tahun 2004 menerapkan sistim mencoblos (lihat pasal 108 ayat 2 undang-undang ini). Menurut penulis, apakah DPR tidak berpikiran satu aturan saja sistim pemberian suara pada surat suara apakah mencoblos saja atau menandai saja pada undang-undang legislatif dan Undang Pemilukada (termasuk UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden atau Wakil Presiden). Dibawah ini adalah perbandingan sistim pemberian suara pada surat suara terhadap sejumlah undang-undang terkait penyelenggaraan pemilu/pemilukada, sebagai berikut :
Perbandingan Sistim Pemberian Suara
NO
|
URAIAN
|
DASAR HUKUM
|
Sistim Pemberian Suara Pada Surat Suara
| |
1
|
Pemilu DPR,DPD,DPRD
|
Psl 154 UU No. 8/2012
|
Coblos
| |
2
|
Pilpres
|
Psl 118 UU No. 42/2008
|
Tanda(√)
| |
3
|
Pemilukada
|
Psl 153(1) UU No. 32/2004
|
Coblos
| |
4
|
RUU Pilkada*
|
Psl 108(2) RUU Pilkada
|
Tanda(√)
|
*/Saat ini masih dibahas di DPR RI.
Kenapa dan apa alasan DPR harus membuat perbedaan sistim pemberian suara pada UU legislatif (coblos) dan UU pilpres/draf UU P Pemilukada (menandai). Bila itu diterapkan, maka akan muncul pemikiran stagnan dimasyarakat khusus daerah yang akan melaksanakan pemilihan legislatif dan pemilukada yang nyaris bersamaan, dan ternyata draf UU Pemilukada disahkan DPR RI menjadi Undang-undang tahun 2012 dengan sistim menandai disetujui, maka akan memunculkan persoalan baru dikalangan penyelenggara pemilu, khususnya penyelenggara pemilu pada tahun bersamaan menggelar Pemilukada dan melaksanakan tahapan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.
Pada saat sosialisasi, para penyelenggara pemilu akan berkata jangan lupa coblos ya, jangan lupa menandai ya. Sistim cara menandai pada pemilu legislatif tahun 2009 saja, masyarakat masih banyak yang belum begitu paham, karena sebelumnya sudah identik dengan sistim coblos yang sudah diterapkan bertahun-tahun.
Saya rasa masyarakat kita yang tengah menghadapi hampir bersamaan pemilukada dan pemilu legislatif didaerahnya akan sedikit kerepotan dalam memberikan suara, sehingga banyak surat suara yang tidak sah, karena salah menerapkan sistim pemberian suara pada surat suara, yang pasti KPU RI beserta jajarannya hanya sebagai pelaksana Undang-undang, tugas, wewenang dan kewajibannya sebagai penyelanggara pemilu/pemilukada sudah diamanatkan secara tegas dalam UU No. 15 tahun 2011. tentang Penyelenggara Pemilu. Penulis hanya berharap, bahwa DPR RI punya sikap konsisten dalam menggodok dan mengesahkan suatu Undang-undang, hanya satu sistim yang digunakan dalam pemberian suara pada surat suara baik itu di pemilu legislatif, pilpres dan pemilukada (kalau coblos, ya coblos saja, kalau menandai ya menandai saja), karena penduduk Indonesia masih banyak yang tinggal didaerah daerah terpencil yang sulit dijangkau oleh sarana transportasi dan komunikasi (jaringan telepon/hp/internet belum ada), penerangan(listrik PLN belum masuk), dan masih memiliki SDM yang rendah dan masih ‘gaptek’ dengan iptek. (14/07/2012).