oleh:
Muhammad Aris, SH
RUU Pilkada yang
disahkan DPR RI pada rapat paripurna 25 September 2014 lalu mengukir sejarah
baru dengan dikembalikannya pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati dan
walikota) ke parlemen (DPRD). Akibatnya, pemilihan melalui DPRD itu mengakibatkan
efek yang meluas terutama kewenangan dan keberadaan KPU Provinsi dan KPU
kabupaten/kota yang tersebar di 34 Provinsi dan 511 kabupaten/kota bakal ‘Diamputasi’
dengan dicabutnya UU No. 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu.
Bila melihat Pasal
5 ayat 2 UU No. 15 tahun 2011 yang berbunyi : “KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota bersifat tetap”, namun
dengan dicabutnya Undang-undang penyelenggara pemilu tersebut, maka serta merta
khususnya penyelenggara pemilu di daerah tidak lagi bersifat tetap, tapi akan
dikembalikan pada sifat adhock(sementara).
Sementara KPU RI tetap menjadi lembaga tetap karena didukung pasal 22E ayat 3 UUD
1945. Para komisioner KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota akan dipilih kembali
menjelang momen pileg dan pilpres yang serentak dilakukan 2019. Meski dihapusnya
UU No. 15 tahun 2011 itu, tapi dasar hukum untuk melaksanakan pileg dan pilpres
itu masih ada, yakni Pasal 22E UUD 1945, UU No. 42 tahun 2008 tentang pemilihan
presiden dan wakil presiden dan UU No. 08 tahun 2012 tentang pemilu anggota
DPR, DPD dan DPRD.
Dimana pasal 22E ayat
3 UUD 1945 berbunyi : “Pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap
dan mandiri”. Hanya disebut dalam UU itu adalah KPU RI, tidak termasuk KPU
Provinsi dan KPU kabupaten/kota. Sementara KPU RI dalam UUD 1945 hanya diberikan
kewenangan untuk melaksanakan pemilu DPR, DRD dan DPRD dan pemilu presiden dan
wakil presiden. Dengan dikembalikan pilkada ke DPRD, maka kewenangan KPU
Provinsi dan KPU kabupaten/kota terkuras habis, tidak ada lagi kegiatan yang
bisa dilakukan bagi penyelenggara pemilu di daerah, terkecuali hanya menjadi ‘penonton’ semata.
Putusan politik DPR
RI 25 September 2014 tersebut membuat sejumlah pihak tersentak, tidak
terkecuali dengan penyelenggara pemilu di daerah baik yang aktif maupun purnabakti.
Putusan itu tidak pernah terbayangkan dan menimbulkan ekses, namun sangat
disayangkan penyelenggara pemilu (aktif) tidak semuanya melakukan perlawanan
terhadap wacana pilkada dikembalikan ke daerah yang digulirkan sebelumnya,
setelah RUU pilkada disahkan dan dikembalikan ke DPRD barulah muncul
pemberontakan dan penolakan. Salah satu cara melakukan perlawanan adalah uji
materi di MK.
Saya teringat dan angkat
jempol dengan mantan anggota KPU Bogor Tugiman Al Garuty yang berani melakukan
uji materi terhadap pasal 27 ayat 1 huruf b dan ayat 3 UU No. 15 tahun 2011. Keberanian
Tugiman itu akhirnya membuahkan hasil, Mahkamah Konstitusipun secara bulat
menerima seluruh permohonan pemohon berdasarkan putusan MK No. 80/PUU-XI/2011
tertanggal 4 Januari 2011. Namun sayangkan mas Tugiman yang berjuang kembali
untuk masuk ke KPUD (KPU Jawa Barat dan
KPU Bogor) tersingkir, setelah berjuang tanpa pamrih membela institusinya. Begitupun
dengan sobat Ahmad Said Widodo (mantan anggota KPU Purwakarta) serta
teman-teman lainnya memiliki kualitas dan integritas. Jadi, lembaga
penyelenggara pemilu semestinya punya standar tinggi dalam proses rekrutmen dan
evaluasi dalam proses seleksi, betul-betul mempertimbangkan karena kualitas dan integritas,. Pertanyaannya, adakah Tugiman-tugiman
lain yang akan melakukan uji materi terhadap UU pilkada di MK?. Adakah yang
berani atau hanya pasrah menerima kondisi ini. Hanya ada dua kata: “Lawan atau pasrah”.
Kepada komisioner yang
masih aktif khususnya KPU Provinsi, KPU kabupaten/kota, jangan merasa sensitif
atas tulisan saya ini, saya tidak ingin memojokkan lembaga pemilu, penyebabnya adalah
keputusan politik DPR RI dengan disahkan RUU pilkada.
Pasca pengesehan RUU
pilkada...kita tunggu aktion KPU RI
selanjutnya?