Oleh : Muhammad
Aris, SH*
KOMITMEN Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan penundaan pelantikan tiga anggota DPR
RI terpilih periode 2014 – 2019 berstatus tersangka karena masalah hukum patut
didukung. Namun muncul pertanyaan, bagaimana pula anggota dewan di sejumlah
daerah di Indonesia dengan status yang sama tetap dilantik dan diambil
sumpahnya menjadi anggota DPRD periode
2014 - 2019.
Untuk diketahui, tiga
anggota DPR RI terpilih yang menyandang status tersangka korupsi adalah Jero
Wacik, Idham Samawi dan Herdian Koosnadi. Jero yang terpilih sebagai anggota
DPR RI dari Partai Demokrat.
Sedangkan Idham dan Herdian terpilih sebagai anggota DPR RI dari PDIP. Idham yang juga mantan Bupati Bantul, Yogyakarta menjadi tersangka kasus dugaaan korupsi dana bantuan untuk klub sepakbola Persiba. Sedangkan Herdian terseret kasus dugaan korupsi proyek puskesmas di Tangerang Selatan. Kini, kasus dugaan korupsi yang menjerat Idham dan Herdian ditangani kejaksaan.
Sikap KPK tersebut dinilai
dilematis. Kenapa hanya DPR RI saja yang disorot?, sementara DPRD dibiarkan
saja. Saat ini sejumlah anggota DPRD terpilih menyandang kasus yang sama dengan
ketiga anggota DPR RI, tapi mereka sudah dilantik dan diambil sumpahnya. Apakah
penerapan hukum KPK hanya berlaku di pusat, di daerah tidak?. Kalau ini
dibiarkan, maka terjadi ketimpangan penerapan hukum, dan menimbulkan rasa ketidakadilan antara
anggota DPR RI dan DPRD. Walaupun mereka berstatus tersangka, tapi proses
hukumnya masih panjang dan masih menunggu kekuatan hukum tetap, jadi untuk apa
kita menerapkan asas hukum praduga tidak
bersalah.
Sikap KPK tersebut
membuat penulis penasaran,?. Niat baik
KPK untuk ‘merecal’ oknum-oknum
anggota DPR RI terpilih karena diduga tersangkut kasus hukum patut diapresiasi,
namun menurut penulis handing kurang tepat,
semestinya usulan KPK itu jauh-jauh disampaikan sebelum pelantikan anggota DPR
RI dan anggota DPRD di seluruh Indonesia. Sehingga usulan penundaan pelantikan
itu juga bisa diterapkan secara menyeluruh di daerah.
Dari
sisi persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota, terhadap calon anggota
DPR RI periode 2014-2019 yang akan
dilantik 1 Oktober 2014 dan anggota DPRD yang sudah dilantik yang baru-baru ini
yang telah ditetapkan statusnya sebagai tersangka karena masalah hukum tidak
serta merta langsung digugurkan atau ditunda pelantikan. Karena kalau melihat salah
satu persyaratan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota saat mendaftar diri sebagaimana diatur pada
pasal 51 ayat 1 huruf g UU No. 8 tahun 2012 berbunyi : ”Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,”. Akibatnya,
sejumlah oknum anggota DPRD terpilih yang menyandang status tersangka tetap
dilantik dan diambil sumpahnya, karena pihak-pihak terkait termasuk
penyelenggara pemilu dan sekretariat DPRD di daerah dinilai berpegang pada
pasal 51 ayat 1 huruf g UU No. 8 tahun 2012.
Penulis
menilai, kalau KPK meminta agar tiga anggota DPR RI terpilih bersatus tersangka
ditunda pelantikannya sampai mereka mempunya kekuatan hukum tetap, semestinya hal
serupa juga diberlakukan di daerah (DPRD), karena anggota DPRD didaerah juga
pada saat pelantikan diambil sumpahnya. Terhadap proses hukum kita tetap
mengedepankan supresmasi hukum buka supremasi
etika, padahal anggota DPRD RI terpilih dan baru akan dilantik itu kan baru
berstatus tersangka belum tentu dalam perjalanan proses hukumnya terbukti. Meskipun
selama ini proses hukum yang ditangani KPK belum pernah ada pelaku tindak
pidana korupsi yang ditetapkan sebagai tersangka dinyatakan bebas. perlu
diketahui, tidak semua ketiga anggota DPR RI itu bermasalah itu kasusya
ditangani KPK.
Bila
kita hubungkan dengan proses penundaan pelantikan akan tetap terkait dengan
proses pergantian calon terpilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
aturan tetap berpegang pada pasal 220 UU No. 08 tahun 2012 tentang pemilu
anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pada
pasal 220 UU No. 08 tahun 2012 berbunyi :
(1) Penggantian calon terpilih
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila
calon terpilih yang bersangkutan:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. tidak lagi memenuhi syarat
menjadi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota; atau
d. terbukti melakukan tindak pidana
Pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal calon terpilih anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d telah ditetapkan dengan keputusan
KPU, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota, keputusan penetapan yang
bersangkutan batal demi hukum.
(3) Calon terpilih anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti
oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon dari daftar calon
tetap Partai Politik Peserta Pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut
berdasarkan urutan suara terbanyak berikutnya.
(4) Calon terpilih anggota DPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti dengan calon yang memperoleh suara
terbanyak berikutnya.
(5) KPU, KPU Provinsi, atau KPU
Kabupaten/Kota menetapkan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagai calon terpilih pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dengan keputusan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota paling lambat
14 (empat belas) hari setelah calon terpilih berhalangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Sementara di satu sisi, Penyelenggara pemilu yang
berpedoman pada UU No. 08 tahun 2012 dan Peraturan KPU No. 09 tahun 2013, juga
harus bisa menerapkan aturan yang sama antara DPR RI dan DPRD.
Terhadap
anggota DPR dan DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota yang dinilai bermasalah,
pengaturan tersendiri sebagaimana ditegaskan oleh UU No. 27 tahun 2009
sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Masalah
larangan KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) terhadap anggota dewan memang
sudah ditegaskan pada pasal pasal 350 ayat 3, 236 ayat 3, pasal 400 ayat 3 UU No. 17 tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD berbunyi
: “Anggota DPR, DPRD provinsi, anggota
DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme,”.
Hanya
saja, anggota dewan yang dinila melanggar pasal 350 ayat 3, 236 ayat 3, pasal 400 ayat 3 tersebut harus
diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR/DPRD, sebagaimana
diatur pada pasal 237 ayat 3, pasal 351 ayat 3 dan pasal 401 ayat 3 UU No. 17
tahun 2014. Pemberhentikan anggota dewan yang tersangkut masalah KKN diperkuat
pada pasal 241 ayat 1 UU No. 17 tahun 2014 berbunyi : “Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d dan yang bersangkutan
mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
Dalam
pasal 244 UU No. 17 tahun 2014, selain diberhentikan tetap, anggota DPR RI bisa
diberhentikan sementara apabila :
(1)
Anggota DPR diberhentikan sementara karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara
tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara
tindak pidana khusus.
(2) Dalam hal anggota DPR dinyatakan
terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diberhentikan sebagai
anggota DPR.
(3) Dalam hal anggota DPR
dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diaktifkan.
(4)
Anggota DPR yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan
tertentu
Begitupun pemberlakukan terhadap anggota DPRD provinsi dan
DPRD kabupaten/kota sebagaimana telah diatur pada pasal 362 dan pasal 412 UU No. 17 tahun 2014.
Mengacu kepada UU No. 17 tahun 2014, proses pemberhentian
tetap dan pemberhentian sementara anggota DPR dan DPRD sudah diatur secara
tegas, ` seorang anggota dewan saja yang baru ditetapkan terdakwa dalam kasus
pidana umum atau khusus baru diberhentikan sementara, sampai kasus hukumnya
memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila terjadi perselisihan antara anggota
partai politik dengan institusinya, maka bisa diselesaikan melalui mahkamah
partai politik atau sebutan lainnya oleh partai politik bersangkutan
sebagaimana diatur dalam UU No. 2 tahun 2008 yang telah ubah menjadi UU No. 2
tahun 2011 tentang partai politik.
Dengan
demikian, usulan penundaan pelantikan tiga anggota DPR RI tersebut oleh KPK merupakan
salah satu terobosan hukum, namun terobosan hukum tersebut perlu ada payung
hukumnya, sehingga akan menjadi acuan terhadap kasus-kasus sama kedepannya. Sehingga
pemberlakukan di pusat dan di daerah sama. Khususnya penyelenggara pemilu dan
pemerintah daerah tidak lagi merasa ‘bingung’
dalam menerapkan kasus yang akan dihadapi seperti kasus DPR RI tersebut diatas.
Diakhir
kalimat ini, penulis hanya menyarankan kepada pihak KPK dan KPU agar tetap
menerapkan aturan hukum ketat selagi aturan itu ada dan berlaku. KPK sebagai
panglima terdepan dalam pemberantasan korupsi itu tetap masih menjadi tumpuan
utama masyarakat untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. I ♥ KPK dan I ♥ KPU. (*penulis adalah alumni Fakultas Hukum Universitas Jambi (Unja) dan
mantan anggota KPU Batang Hari 2008 – 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar