Rabu, 27 Agustus 2014

Calon Kepala Daerah Jalur Perseorangan ‘Terancam’.




RANCANGAN undang-undang pemilihan kepala daerah hingga saat ini belum juga berhasil dituntaskan oleh DPR-RI, hal hasil sejumlah daerah di Indonesia akan melaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tahun 2015 mendatang. Hanya saja pemerintah berharap agar RUU tersebut sudah bisa disahkan DPR RI paling lambat September 2014. Khusus di Provinsi Jambi, yakni Kabupaten Batang Hari dan Tanjung Jabung Barat, akan menggelar pemungutan suara sekitar bulan Oktober 2015.
Mengacu kepada RUU pemilihan kepala daerah yang sudah disampaikan dan sedang dibahas DPR RI, memang masih terdapat pasal-pasal krusial yang tarik ulur di lembaga legislatif tersebut, diantaranya, pertama apakah pemilihan gubernur atau wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota dipilih langsung atau perwakilan (DPRD). Kedua,  apakah pemilihan gubernur atau wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota dipilih satu paket atau terpisah. Ketiga, masalah proses penyelesaian sengketa pemilihan gubernur atau wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota sudah diserahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Agung (MA), tidak lagi ditangani Mahkamah Konstitusi (MK).
Tentu saja, bila salah satu poin yang nantinya disepakati fraksi-fraksi di DPR, adalah apakah pemilihan gubernur atau wakil gubernur dipilih melalui perwakilan (DPRD) dan Pemilihan  bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota dipilih langsung  atau sebaliknya, maka calon kepala daerah yang akan maju melalui jalur perseorangan patut was-was. Karena tidak adalagi ruang dan tempat yang diberikan untuk maju menjadi seorang kepala daerah atau wakil kepala daerah. Bila mengacu kepada RUU pemilihan kepala daerah khususnya tehnis pemilihan melalui perwakilan (DPRD), maka yang berhak mengajukan calon kepala daerah hanyalah dari partai politik atau gabungan partai politik. Proses pemilihan perwakilan itu sendiri melalui dua tahap, yakni melalui KPUD dan DPRD.
Bila melihat kebelakang perjuangan seorang yang bernama Ranggalawe, anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah yang berhasil memperjuangkan hak warga Indonesia untuk bisa mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dari jalur perseorangan di Mahkamah Konstitusi RI tahun 2007 dan ternyata berhasil dengan dikabulkannya gugatannya melalui  Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007. Sayangnya, bila RUU pemilukada nantinya ada pemilihan kepala daerah (apakah provinsi atau Kabupaten/kota) yang melalui pemilihan perwakilan (DPRD) disahkan, maka pupuslah perjuangan sang Ranggalawe tersebut.
Perjuangan sang Ranggalawe tersebut, pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 yang telah dituangkan dalam UU No. 12 Tahun 2008, calon kepala daerah daerah jalur perseorangan itu berhasil muncul dan memenangi pertarungan di sejumlah daerah di Indonesia, diantaranya Christian N Dillak-Zacharias P Manafe (pilbup Rote Ndou, NTT/2008), O K Arya Zulkarnain-Gong Martua Siregar (Pilbup Batubara, Sumatera Utara/2008), Aceng Fikri-Raden Dicky Chandra (Pilbup Garut, Jawa Barat/2009), Muda Mahendrawan-Andreas Muhrotien (Pilbup Kubu Raya, Kalimantan Barat/2010), Saifullah-MG Hadi Sutjipto (Pilbup Sidoardjo, Jawa Timur/2011), Jonas Salean-Hermanus Man (Pilwalkot Kota Kupang, NTT/2012).
Meski saat ini untuk Provinsi Jambi, belum ada pasangan calon kepala daerah dari jalur perseorangan yang berhasil menang, misalnya pada Pemilukada Batang Hari 2010 lalu, pasangan H. Fathuddin Abdi – Kemas Ismail Azim hanya berada di posisi empat dari lima pasangan calon yang ikut bertarung.
Dari berbagai informasi yang berhasil dihimpun, ada beberapa butir krusial dalam RUU Pemilukada tersebut, Pertama   Pilkada Serentak   Pemerintah mengusulkan pelaksanaan pilkada serentak pada 2015 dan 2018. Pada 2015, dilaksanakan pilkada serentak tahap pertama bagi seluruh gubernur, bupati dan wali kota yang masa jabatannya berakhir di tahun tersebut.   Pilkada serentak tahap kedua berlangsung 2018 untuk gubernur, bupati dan wali kota yang masa jabatannya berakhir tahun 2016, 2017 dan 2018. Pada 2016 dan 2017 diisi pejabat sampai dengan terpilih kepala daerah definitif di tahun 2018. Pejabat bisa setahun, tidak dua tahun sekaligus. Ini akan diawasi.    Sedangkan pilkada serentak secara nasional pertama kali bakal dimulai pada 2020.  “Setahun setelah digelar pemilu serentak legislatif dan presiden, digelarlah pilkada serentak nasional. Tahun 2020 dianggap paling tepat ketimbang 2019. Bagi kepala daerah yang terpilih 2018 sampai 2020, masa jabatannya berkurang dikarenakan pilkada serentak nasional. Namun, tetap diberikan uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapat hak pensiun penuh,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemdagri, Djohermansyah Djohan, di Jakarta, beberapa waktu lalu.  
Kedua, Pengisian Wakil Kepala Daerah   Pengisian wakil gubernur, bupati, wali kota melalui mekanisme pengangkatan oleh pemerintah. Sebab wakil kepala daerah itu akan melaksanakan tugas jabatan administratif. “Sebaiknya (wakil kepala daerah) bukan dipilih, tapi diangkat dengan kata lain tidak satu paket. Terbuka peluang bisa dari PNS (pegawai negeri sipil) dan non PNS,” kata Djohan.   Wakil kepala daerah berpeluang lebih dari satu. Artinya, akan ada dua wakil kepala daerah dalam suatu daerah.    Mekanisme penunjukkan wakil kepala daerah dapat ditunjuk pemerintah atau DPRD. Namun, jika lewat DPRD, kepentingan politik terlalu tinggi.  “Ada harga dan perjuangan di DPRD nantinya,” ujar Djohan.  
Ketiga, Politik Dinasti   Pemerintah mengatur politik dinasti sedemikian rupa, agar terhindar uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam RUU Pilkada, calon kepala daerah tidak boleh mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan petahana. “Tidak boleh mempunyai ikatan perkawinan dan kekerabatan (ke atas, bawah dan samping). Dimungkinkan maju selang satu periode masa jabatan, di tempat atau daerah lain,” kata Djohan.  
Keempat,  Penyelesaian Sengketa,   Sengketa yang terjadi antar peserta pemilihan, lalu peserta pemilihan dengan penyelenggara sebagai akibat dikeluarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berkaitan penetapan calon kepala daerah, diselesaikan terlebih dahulu di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Kalau tidak bisa, maka pihak yang merasa dirugikan bisa mengajukan gugatan tertulis ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).    Selanjutnya, penyelesaian sengekta yang timbul akan dilakukan sesuai tahapan. Pengajuan gugatan yang diajukan ke PTTUN dilakukan setelah seluruh upaya administrative di Bawaslu selesai.    Dilakukan pemeriksaan, mengadili dan memutuskan oleh majelis khusus pleh hakim khusus di lingkungan hakim karir. Putusan PTTUN hanya dapat melakukan kasasi oleh MA. Kasasi peluangnya satu kali.   Sementara penyelesaian tindak pidana pemilihan, dilakukan penyelidikan oleh polisi. Berkas kemudian diserahkan ke penuntut umum lalu dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN), sidang pemeriksaan oleh majelis khusus. “Dapat dilakuan banding 1 kali ke PT. putusan PT terakhir mengikat. Ini penting agar jangan sudah jalan proses pilkada, lalu ada permintaan kepala daera terpilih tidak dilantik,” kata Djohan.   Sedangkan penyelesaian sengketa hasil pilkada bupati dan wali kota, diselesaikan di tingkat PT. Sementar untuk gubernur diselesaikan di MA.  
Kelima, Sumber Dana, Transparansi Pencalonan, dan Pengaturan Kampanye   Sumber dana pilkada berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tapi dapat didukung melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).   Transparansi pencalonan akan dilakukan melalui uji publik. “Ada panel yang terdiri 5 orang (1 KPU, 2 akademisi, 2 tokoh masyarakat). Lalu meliputi kompetensi dan integritas, dilaksanakan secara terbuka sebelum pendaftaran calon. Pengaturan kampanye, difasilitasi dan diselenggarakan KPU Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Hal tersebut dinilai penting untuk menghindari kapitalisasi. APBN sendiri akan membiayai, debat publik, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, iklan dan rapat umum. Sedangkan di luar APBN hanya dibatasi dengan kegiatan pertemuan terbatas dan dialog atatu tatap muka.    Keenam, Sanksi Terima Imbalan.   RUU Pilkada bakal mengatur ketat proses pilkada. Salah satunya terkait politik transaksional partai dan calon kepala daerah.   Partai dilarang menerima imbalan dalam proses pencalonan kepala daerah. “Jika terbukti dikenai sanksi denda 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima,” kata Djohan.    Dia menambahkan, partai yang terbukti menerima imbalan juga akan diumumkan ke media massa. Meski demikian, kita saat ini masih masih proses lebih lanjut DPR RI supaya RUU pemilihan kepala daerah segera dibahas dan secepatnya disetujui DPR RI menjadi Undang-Undang.(M.ARIS, SH/mantan komisioner KPU Batang Hari 2008-2013)