Sabtu, 27 September 2014

KPU Daerah Diamputasi, Melawan atau Pasrah



oleh:
Muhammad Aris, SH

RUU Pilkada yang disahkan DPR RI pada rapat paripurna 25 September 2014 lalu mengukir sejarah baru dengan dikembalikannya pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) ke parlemen (DPRD). Akibatnya, pemilihan melalui DPRD itu mengakibatkan efek yang meluas terutama kewenangan dan keberadaan KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota yang tersebar di 34 Provinsi dan 511 kabupaten/kota bakal ‘Diamputasi’ dengan dicabutnya UU No. 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu.
Bila melihat Pasal 5 ayat 2 UU No. 15 tahun 2011 yang berbunyi : “KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota bersifat tetap”, namun dengan dicabutnya Undang-undang penyelenggara pemilu tersebut, maka serta merta khususnya penyelenggara pemilu di daerah tidak lagi bersifat tetap, tapi akan dikembalikan pada sifat adhock(sementara). Sementara KPU RI tetap menjadi lembaga tetap karena didukung pasal 22E ayat 3 UUD 1945. Para komisioner KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota akan dipilih kembali menjelang momen pileg dan pilpres yang serentak dilakukan 2019. Meski dihapusnya UU No. 15 tahun 2011 itu, tapi dasar hukum untuk melaksanakan pileg dan pilpres itu masih ada, yakni Pasal 22E UUD 1945, UU No. 42 tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden dan UU No. 08 tahun 2012 tentang pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD.
Dimana pasal 22E ayat 3 UUD 1945 berbunyi : “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Hanya disebut dalam UU itu adalah KPU RI, tidak termasuk KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota. Sementara KPU RI dalam UUD 1945 hanya diberikan kewenangan untuk melaksanakan pemilu DPR, DRD dan DPRD dan pemilu presiden dan wakil presiden. Dengan dikembalikan pilkada ke DPRD, maka kewenangan KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota terkuras habis, tidak ada lagi kegiatan yang bisa dilakukan bagi penyelenggara pemilu di daerah, terkecuali hanya menjadi ‘penonton’ semata.
Putusan politik DPR RI 25 September 2014 tersebut membuat sejumlah pihak tersentak, tidak terkecuali dengan penyelenggara pemilu di daerah baik yang aktif maupun purnabakti. Putusan itu tidak pernah terbayangkan dan menimbulkan ekses, namun sangat disayangkan penyelenggara pemilu (aktif) tidak semuanya melakukan perlawanan terhadap wacana pilkada dikembalikan ke daerah yang digulirkan sebelumnya, setelah RUU pilkada disahkan dan dikembalikan ke DPRD barulah muncul pemberontakan dan penolakan. Salah satu cara melakukan perlawanan adalah uji materi di MK.
Saya teringat dan angkat jempol dengan mantan anggota KPU Bogor Tugiman Al Garuty yang berani melakukan uji materi terhadap pasal 27 ayat 1 huruf b dan ayat 3 UU No. 15 tahun 2011. Keberanian Tugiman itu akhirnya membuahkan hasil, Mahkamah Konstitusipun secara bulat menerima seluruh permohonan pemohon berdasarkan putusan MK No. 80/PUU-XI/2011 tertanggal 4 Januari 2011. Namun sayangkan mas Tugiman yang berjuang kembali untuk masuk ke KPUD (KPU Jawa Barat dan KPU Bogor) tersingkir, setelah berjuang tanpa pamrih membela institusinya. Begitupun dengan sobat Ahmad Said Widodo (mantan anggota KPU Purwakarta) serta teman-teman lainnya memiliki kualitas dan integritas. Jadi, lembaga penyelenggara pemilu semestinya punya standar tinggi dalam proses rekrutmen dan evaluasi dalam proses seleksi, betul-betul mempertimbangkan karena kualitas dan integritas,. Pertanyaannya, adakah Tugiman-tugiman lain yang akan melakukan uji materi terhadap UU pilkada di MK?. Adakah yang berani atau hanya pasrah menerima kondisi ini. Hanya ada dua kata: “Lawan atau pasrah”.
Kepada komisioner yang masih aktif khususnya KPU Provinsi, KPU kabupaten/kota, jangan merasa sensitif atas tulisan saya ini, saya tidak ingin memojokkan lembaga pemilu, penyebabnya adalah keputusan politik DPR RI dengan disahkan RUU pilkada.
Pasca pengesehan RUU pilkada...kita tunggu aktion KPU RI selanjutnya?