RANCANGAN undang-undang pemilihan kepala
daerah hingga saat ini belum juga berhasil dituntaskan oleh DPR-RI, hal hasil
sejumlah daerah di Indonesia akan melaksanakan pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah tahun 2015 mendatang. Hanya saja pemerintah berharap agar
RUU tersebut sudah bisa disahkan DPR RI paling lambat September 2014. Khusus di
Provinsi Jambi, yakni Kabupaten Batang Hari dan Tanjung Jabung Barat, akan
menggelar pemungutan suara sekitar bulan Oktober 2015.
Mengacu
kepada RUU pemilihan kepala daerah yang sudah disampaikan dan sedang dibahas
DPR RI, memang masih terdapat pasal-pasal krusial yang tarik ulur di lembaga
legislatif tersebut, diantaranya, pertama apakah pemilihan gubernur atau wakil
gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota dipilih langsung
atau perwakilan (DPRD). Kedua, apakah
pemilihan gubernur atau wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil
walikota dipilih satu paket atau terpisah. Ketiga, masalah proses penyelesaian
sengketa pemilihan gubernur atau wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau
walikota/wakil walikota sudah diserahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Agung (MA),
tidak lagi ditangani Mahkamah Konstitusi (MK).
Tentu saja,
bila salah satu poin yang nantinya disepakati fraksi-fraksi di DPR, adalah
apakah pemilihan gubernur atau wakil gubernur dipilih melalui perwakilan (DPRD)
dan Pemilihan bupati/wakil bupati atau
walikota/wakil walikota dipilih langsung
atau sebaliknya, maka calon kepala daerah yang akan maju melalui jalur
perseorangan patut was-was. Karena tidak adalagi ruang dan tempat yang
diberikan untuk maju menjadi seorang kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Bila mengacu kepada RUU pemilihan kepala daerah khususnya tehnis pemilihan
melalui perwakilan (DPRD), maka yang berhak mengajukan calon kepala daerah
hanyalah dari partai politik atau gabungan partai politik. Proses pemilihan
perwakilan itu sendiri melalui dua tahap, yakni melalui KPUD dan DPRD.
Bila melihat
kebelakang perjuangan seorang yang bernama Ranggalawe, anggota DPRD Kabupaten
Lombok Tengah yang berhasil memperjuangkan hak warga Indonesia untuk bisa
mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dari jalur perseorangan di
Mahkamah Konstitusi RI tahun 2007 dan ternyata berhasil dengan dikabulkannya
gugatannya melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 5/PUU-V/2007. Sayangnya, bila RUU pemilukada nantinya ada pemilihan
kepala daerah (apakah provinsi atau Kabupaten/kota) yang melalui pemilihan
perwakilan (DPRD) disahkan, maka pupuslah perjuangan sang Ranggalawe tersebut.
Perjuangan
sang Ranggalawe tersebut, pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007
yang telah dituangkan dalam UU No. 12 Tahun 2008, calon kepala daerah daerah
jalur perseorangan itu berhasil muncul dan memenangi pertarungan di sejumlah
daerah di Indonesia, diantaranya Christian N Dillak-Zacharias P Manafe (pilbup
Rote Ndou, NTT/2008), O K Arya Zulkarnain-Gong Martua Siregar (Pilbup Batubara,
Sumatera Utara/2008), Aceng Fikri-Raden Dicky Chandra (Pilbup Garut, Jawa
Barat/2009), Muda Mahendrawan-Andreas Muhrotien (Pilbup Kubu Raya, Kalimantan
Barat/2010), Saifullah-MG Hadi Sutjipto (Pilbup Sidoardjo, Jawa Timur/2011),
Jonas Salean-Hermanus Man (Pilwalkot Kota Kupang, NTT/2012).
Meski saat
ini untuk Provinsi Jambi, belum ada pasangan calon kepala daerah dari jalur
perseorangan yang berhasil menang, misalnya pada Pemilukada Batang Hari 2010
lalu, pasangan H. Fathuddin Abdi – Kemas Ismail Azim hanya berada di posisi
empat dari lima pasangan calon yang ikut bertarung.
Dari
berbagai informasi yang berhasil dihimpun, ada beberapa butir krusial dalam RUU
Pemilukada tersebut, Pertama Pilkada Serentak Pemerintah
mengusulkan pelaksanaan pilkada serentak pada 2015 dan 2018. Pada 2015,
dilaksanakan pilkada serentak tahap pertama bagi seluruh gubernur, bupati dan
wali kota yang masa jabatannya berakhir di tahun tersebut. Pilkada
serentak tahap kedua berlangsung 2018 untuk gubernur, bupati dan wali kota yang
masa jabatannya berakhir tahun 2016, 2017 dan 2018. Pada 2016 dan 2017 diisi
pejabat sampai dengan terpilih kepala daerah definitif di tahun 2018. Pejabat
bisa setahun, tidak dua tahun sekaligus. Ini akan diawasi. Sedangkan
pilkada serentak secara nasional pertama kali bakal dimulai pada 2020. “Setahun setelah digelar pemilu serentak
legislatif dan presiden, digelarlah pilkada serentak nasional. Tahun 2020
dianggap paling tepat ketimbang 2019. Bagi kepala daerah yang terpilih 2018
sampai 2020, masa jabatannya berkurang dikarenakan pilkada serentak nasional.
Namun, tetap diberikan uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang
tersisa serta mendapat hak pensiun penuh,” kata Direktur Jenderal Otonomi
Daerah Kemdagri, Djohermansyah Djohan, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kedua, Pengisian Wakil Kepala Daerah Pengisian wakil gubernur, bupati,
wali kota melalui mekanisme pengangkatan oleh pemerintah. Sebab wakil kepala
daerah itu akan melaksanakan tugas jabatan administratif. “Sebaiknya (wakil
kepala daerah) bukan dipilih, tapi diangkat dengan kata lain tidak satu paket.
Terbuka peluang bisa dari PNS (pegawai negeri sipil) dan non PNS,” kata Djohan.
Wakil kepala daerah berpeluang lebih dari satu. Artinya, akan ada dua
wakil kepala daerah dalam suatu daerah. Mekanisme penunjukkan
wakil kepala daerah dapat ditunjuk pemerintah atau DPRD. Namun, jika lewat
DPRD, kepentingan politik terlalu tinggi. “Ada harga dan perjuangan di
DPRD nantinya,” ujar Djohan.
Ketiga, Politik Dinasti Pemerintah
mengatur politik dinasti sedemikian rupa, agar terhindar uji materi di Mahkamah
Konstitusi (MK). Dalam RUU Pilkada, calon kepala daerah tidak boleh mempunyai
kepentingan langsung dan tidak langsung dengan petahana. “Tidak boleh mempunyai
ikatan perkawinan dan kekerabatan (ke atas, bawah dan samping). Dimungkinkan maju
selang satu periode masa jabatan, di tempat atau daerah lain,” kata Djohan.
Keempat, Penyelesaian Sengketa,
Sengketa
yang terjadi antar peserta pemilihan, lalu peserta pemilihan dengan
penyelenggara sebagai akibat dikeluarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
yang berkaitan penetapan calon kepala daerah, diselesaikan terlebih dahulu di
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Kalau tidak bisa, maka pihak yang merasa
dirugikan bisa mengajukan gugatan tertulis ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PTTUN). Selanjutnya, penyelesaian sengekta yang timbul
akan dilakukan sesuai tahapan. Pengajuan gugatan yang diajukan ke PTTUN
dilakukan setelah seluruh upaya administrative di Bawaslu selesai.
Dilakukan pemeriksaan, mengadili dan memutuskan oleh majelis khusus pleh hakim
khusus di lingkungan hakim karir. Putusan PTTUN hanya dapat melakukan kasasi
oleh MA. Kasasi peluangnya satu kali. Sementara penyelesaian tindak
pidana pemilihan, dilakukan penyelidikan oleh polisi. Berkas kemudian
diserahkan ke penuntut umum lalu dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN), sidang
pemeriksaan oleh majelis khusus. “Dapat dilakuan banding 1 kali ke PT. putusan
PT terakhir mengikat. Ini penting agar jangan sudah jalan proses pilkada, lalu
ada permintaan kepala daera terpilih tidak dilantik,” kata Djohan. Sedangkan
penyelesaian sengketa hasil pilkada bupati dan wali kota, diselesaikan di
tingkat PT. Sementar untuk gubernur diselesaikan di MA.
Kelima, Sumber Dana, Transparansi Pencalonan, dan Pengaturan Kampanye
Sumber dana
pilkada berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tapi dapat
didukung melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Transparansi
pencalonan akan dilakukan melalui uji publik. “Ada panel yang terdiri 5 orang
(1 KPU, 2 akademisi, 2 tokoh masyarakat). Lalu meliputi kompetensi dan
integritas, dilaksanakan secara terbuka sebelum pendaftaran calon. Pengaturan
kampanye, difasilitasi dan diselenggarakan KPU Provinsi dan Kabupaten/ Kota.
Hal tersebut dinilai penting untuk menghindari kapitalisasi. APBN sendiri akan
membiayai, debat publik, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga,
iklan dan rapat umum. Sedangkan di luar APBN hanya dibatasi dengan kegiatan
pertemuan terbatas dan dialog atatu tatap muka. Keenam, Sanksi Terima Imbalan. RUU
Pilkada bakal mengatur ketat proses pilkada. Salah satunya terkait politik
transaksional partai dan calon kepala daerah. Partai dilarang menerima
imbalan dalam proses pencalonan kepala daerah. “Jika terbukti dikenai sanksi
denda 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima,” kata Djohan.
Dia menambahkan, partai yang terbukti menerima imbalan juga akan
diumumkan ke media massa. Meski demikian, kita saat ini masih masih proses
lebih lanjut DPR RI supaya RUU pemilihan kepala daerah segera dibahas dan
secepatnya disetujui DPR RI menjadi Undang-Undang.(M.ARIS, SH/mantan komisioner KPU
Batang Hari 2008-2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar